Senin, 07 Juli 2008

Foto yang Indah?: Follow Your Passion

Oleh: Janu Dewandaru

Menghasilkan karya foto yang indah rasanya sudah menjadi suatu hasrat yang umum di kalangan pelaku seni fotografi. Bahkan seringkali menjadi suatu obsesi bagi sebagian mereka. Dalam upayanya, maka digelarlah puluhan lomba foto ini-itu dengan intensitas dan frekuensi yang sangat tinggi. Mulai dari lomba foto tingkat klub sampai lomba paling bergengsi a la Salon Foto Indonesia. Membajirlah ratusan bahkan ribuan foto-foto juara yang telah diapresiasi dan dinilai sebagai foto yang "bagus", "indah","eksotis", "unik", dan seribu penghargaan lainnya.



Sebagai seorang pengamat sekaligus pelaku seni -yang awam dan sangat tidak dikenal- di luar dunia fotografi, sayapun terbawa ke dalam antusiasme untuk mencoba ikut menikmati foto-foto hasil hiruk-pikuk lomba melukis dengan cahaya ini. Pertanyaan yg paling awal muncul dlm diri sendiri "bagaimana membuat sebuah foto yang indah?�"


Apakah sebuah foto yg "indah" adalah sebuah foto dalam definisi keindahan yang sangat eksplisit (bentuk, warna, komposisi, gelap-terang, pola) semata? Semuanya cukup berhenti di sana? Bukankah keindahan adalah sesuatu yg sangat subyektif dan pribadi sifatnya?. Bagaimana mungkin seperangkat aturan yg standard dan general bisa menangkap seluruh dimensi perasaan banyak manusia lain? Saya tidak bicara soal kesempurnaan teori/format/teknis sebuah foto, karena semua foto yg dibilang bagus itu tentulah sudah dinilai "layak lomba" dan oleh karena itu secara teknis tentulah sudah dikatakan "layak jadi juara". Namun seperti yang juga saya pernah baca, bukankah foto yg indah tidak selalu foto yang benar secara teknis??.


Saya pun mulai banyak bertanya kepada diri sendiri. Beberapa pekan dalam keraguan dan kebimbangan. Berdialog dengan teman, sahabat, dan hati nurani��..


Keindahan membutuhkan "rasa", esensi kesadaran paling mendalam dari si pelaku seni yang mengalir melalui hasrat dan panca inderanya dan akhirnya mewujud kedalam karya seninya. Sebuah lukisan adalah juga cermin jiwa si pelukis. "It's not a painting, it's me". Dan rasa sangatlah subyektif sifatnya, karena ia terbentuk pada tataran alam bahwa sadar oleh pengalaman-pengalaman pribadi individu dalam berinteraksi dengan orang-orang, kultur, dan alam di sekitarnya.


Keindahan, jadinya sangatlah subyektif sifatnya. Indah menurut saya, belum tentu dibilang indah menurut orang lain. Dalam session penjurian foto misalnya, sesudah terpenuhinya aspek teknikal fotografi, seringkali sebuah foto dinilai 9 "istimewa" dan pada saat yang sama juga dinilai 1 "jelek sekali" oleh juri yang lain. Bukan karena masalah format/teknisnya, tapi lebih karena ternyata "rasa"-nya tidak selalu nyambung dengan "rasa" seluruh anggota jurinya.


Oleh karena itu, jika karya foto hendak ditempatkan sebagai suatu "karya seni" dan ingin diapresiasi sebagai sebuah karya seni, maka seyogianya ia harus diperlakukan sebagaimana kita mengapresiasi karya seni lainnya seperti seni lukis, seni patung, seni batik, seni sastra/puisi, dan lain-lain. Rasanya hampir tidak pernah kita dengar ada lomba lukis kecuali untuk anak-anak. Hampir tidak ada lomba seni patung, kecuali untuk pembuatan monumen yang spesifikasi wujudnya sudah jelas. Hampir tidak ada lomba lukis batik kecuali dlm program mempromosikan museum yg semakin sepi. Pujangga-pujangga puisi saat ini justru mereka yg berani melepaskan diri dari format2 baku yg ada. Pada kenyataannya, para pelaku seni itu terus berkreasi dan terus berekspresi melalui medianya masing-masing, dengan gayanyanya masing-masing, untuk mengkspresikan "rasa" individu masing-masing. Everybody is unique. Mencoba menilai sederetan karya seni dengan suatu kriteria teoritis/format/teknis baku�sama artinya dgn melakukan standarisasi impresi. Suatu tindakan yg justru bertentangan dengan spirit berkesenian yang membebaskan! Membebaskan pelaku seni dari tuntutan untuk mengorbankan "rasa" demi mengikuti selera orang lain (mohon bedakan antara sebuah karya seni sebagai "seni" dengan sebuah karya seni sebagai "komoditi"). Membebaskan penikmat seni dari segala acuan formal tentang "bagaimana membaca dan mengapresiasi suatu karya seni" serta kriteria baku bagus-tidak bagusnya suatu karya seni. Bukankah tidak semua orang menyukai gaya melukisnya Affandi? Tapi siapa yang bilang kalau lukisannya Affandi "lebih jelek" dari lukisannya Basuki Abdullah?.

Tidak ada komentar: