Senin, 07 Juli 2008

Fotografi Jusnalistik sebagai Media Komunikasi

Oleh: Wendra Ajistyatama

�I don�t know any photojournalists who do the job for the sake of money. They do it to communicate�. (James nachtwey)

Pendahuluan
Fotografi jurnalistik muncul dan berkembang di dunia sudah lama sekali, tetapi lain halnya dengan di Indonesia, foto pertama yang di buat oleh seorang warga negara Indonesia terjadi pada detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan. Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya sendiri Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica, dan pada saat itulah pada pukul 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945 foto jurnalis Indonesia lahir.

Fotografi Jurnalistik
Definisi fotografi dapat diketahui dengan menyimpulkan ciri-ciri yang melekat pada foto yang dihasilkan.

Ciri-ciri foto jurnalis:
1.Memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri.
2.Melengkapi suatu berita/artikel.
3.Dimuat dalam suatu media.

Sebuah foto dapat berdiri sendiri, tapi jurnalistik tanpa foto rasanya kurang lengkap, mengapa foto begitu penting ?, karena foto merupakan salah satu media visual untuk merekam/mengabadikan atau menceritakan suatu peristiwa.
�Semua foto pada dasarnya adalah dokumentasi dan foto jurnalistik adalah bagian dari foto dokumentasi� (Kartono Ryadi, Editor foto harian Kompas). Perbedaan foto jurnalis adalah terletak pada pilihan, membuat foto jurnalis berarti memilih foto mana yang cocok. ( ex: di dalam peristiwa pernikahan, dokumentasi berarti mengambil/memfoto seluruh peristiwa dari mulai penerimaan tamu sampai selesai, tapi seorang wartawan foto hanya mengambil yang menarik, apakah public figure atau saat pemotongan tumpeng saat tumpengnya jatuh, khan menarik) hal lain yang membedakan antara foto dokumentasi dengan foto jurnalis hanya terbatas pada apakah foto itu dipublikasikan (media massa) atau tidak.

Nilai suatu foto ditentukan oleh beberapa unsur:

1. Aktualitas.
2. Berhubungan dengan berita.
3. Kejadian luar biasa.
4. Promosi.
5. Kepentingan.
6. Human Interest.
7. Universal.

Foto jurnalistik terbagi menjadi beberapa bagian:

1. Spot news : Foto-foto insidential/ tanpa perencanaan. (ex: foto bencana, kerusuhan, dll).
2.General news : Foto yang terencana (ex : foto SU MPR, foto olahraga).
3.Foto Feature : Foto untuk mendukung suatu artikel.
4.Esai Foto : Kumpulan beberapa foto yang dapat bercerita.

Foto yang sukses

Batasan sukses atau tidaknya sebuah foto jurnalistik tergantung pada persiapan yang matang dan kerja keras bukan pada keberuntungan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada foto yang merupakan hasil dari �being in the right place at the right time� . Tetapi seorang jurnalis profesional adalah seorang jurnalis yang melakukan riset terhadap subjek,mampu menetukan peristiwa potensial dan foto seperti apa yang akan mendukungnya (antisipasi). Itu semua sangat penting mengingat suatu moment yang baik hanya berlangsung sekian detik dan mustahil untuk diulang kembali.

Etika, empati, nurani merupakan hal yang amat penting dan sebuah nilai lebih yang ada dalam diri jurnalis foto.

Seorang jurnalis foto harus bisa menggambarkan kejadian sesungguhnya lewat karya fotonya, intinya foto yang dihasilkan harus bisa bercerita sehingga tanpa harus menjelaskan orang sudah mengerti isi dari foto tersebut dan tanpa memanipulasi foto tersebut.

Fotografi Masa Depan, Sangat Komersial

Oleh: Arbain Rambey

Ini tulisan saya yang sudah dimuat di Kompas
Fotografi Olimpiade, bukan Lagi Sekadar Jepret

SAAT Kompas memotret pertandingan tenis Olimpiade Athena babak pertama tunggal putri antara petenis Indonesia, Angelique Widjaja dan petenis Thailand Tamarine Tanasugarn, seorang petugas mendatangi. Ia memegang ID Kompas, lalu mengatakan," Sir, saya kira Anda sudah tahu kalau ID Anda reporter. Anda tidak berhak memotret."

Beberapa saat kemudian, ia mendekat lagi saat Kompas tetap memotret. "Kalau Anda masih memotret lagi, saya akan memanggil petugas keamanan," katanya tegas.

Memang, kini fotografi bukan lagi sekadar menjepretkan kamera terutama di event sebesar Olimpiade. Kalau Anda ingin memotret, Anda harus punya ID sebagai fotografer. Kalau tak punya, terimalah nasib untuk sekadar menonton.

Indonesia yang akhirnya punya sembilan wartawan yang memakai ID resmi Olimpiade Athena, hanya punya dua fotografer di antaranya. Saat akan mendaftarkan diri di KONI Mei 2003, memang harus ada pertimbangan matang, mau memilih fotografer atau reporter.

Kalau memilih fotografer, memang tidak akan ada yang bisa melarang kalau kita diam-diam menulis. Sedangkan kalau memilih reporter, pasti sulit untuk sembuni waktu memotret. Sekilas tampaknya memilih ID fotografer lebih menguntungkan.

Tapi kenyataan lapangan tidaklah demikian. Anda memang harus jadi tegas memilih sebagai fotografer atau reporter. Dengan ID fotografer, pada beberapa venue Anda tidak bisa duduk di tempat reporter. Dalam pertandingan tertentu, data-data yang mengalir sejalan dengan pertandingan yang sedang berlangsung adalah milik reporter. Buku-buku data yang dibagikan juga hak reporter.

Pada pertandingan atletik misalnya, fotografer tidak bisa duduk di tribun. Padahal di sana segala catatan drama tergambar di televisi yang ada di meja reporter. Detik perdetik.

Selain itu, kalau Anda memilih ID sebagai fotografer, Anda harus sungguh-sungguh seorang fotografer, bukan asal mengaku fotografer. Lupakan kamera dengan lensa pendek. Anda harus membawa lensa panjang dan berat untuk bisa mendapatkan gambar yang memadai. Tempat yang diberikan untuk fotografer memang hanya untuk orang yang membawa lensa panjang.

Fotografer BOLA misalnya, kemana-mana harus membawa lensa 400 milimeter bukaan 2,8 dengan berat lensa saja sekitar 7 kilogram.

MENGAPA masalah foto memfoto dimasalahkan?

Saat ini, selembar foto yang dibuat seorang fotografer bukan semata berita. Ia bisa bernilai uang. Maka, fotografer yang mendaftar ke Olimpiade Athena ini harus menandatangani sebuah perjanjian bersegel. Isi perjanjian itu adalah kesepakatan antara sebuah media cetak (tandatangan sang fotografer dengan cap dari media yang bersangkutan) dengan panitia Olimpiade.

Panitia Olimpiade memberi hak kepada sang fotografer untuk memotret di tempat-tempat yang ditentukan. Namun sang media juga berjanji bahwa foto yang dibuat sang fotografer hanya dipakai untuk berita, bukan untuk kepentingan lain.

Kepentingan lain itu bisa disingkat dengan sebuah kata: dijual. Dan pengertian dijual ini banyak sisinya seperti dibuat poster sebagai bonus sebuah majalah, atau bahkan dijual kepada sebuah perusahaan olahraga.

Maka, pengawasan terhadap reporter yang memotret ini umumnya hanya di cabang-cabang yang fotonya memang mahal seperti tenis. Di cabang ini, pemain-pemain top seperti Venus William, Justine Henin Hardene dan juga Andy Roddick bermain. Dan foto-foto mereka jelas laku dijual.

Di cabang-cabang yang kurang mendunia, atau foto atletnya kurang menarik untuk dikomersialkan seperti angkat besi, pengawasan terhadap reporter yang memotret lebih kendor. Di bulutangkis, KOMPAS juga tidak mengalami kesulitan dalam diam-doam memotret.

Namun ada catatan penting sehubungan dengan larangan memotret ini. Petugas umumnya hanya mencekal reporter yang memotret dengan asumsi sang reporter harusnya tahu rambu-rambu kesepakatan yang sudah dibuat. Sedangkan penonton yang memang tidak tahu peraturan apa-apa, tumumnya dibiarkan memotret.

Selain itu, umumnya penonton yang datang memang memotret dengan kamera saku yang hasilnya pasti tidak layak dijual dengan harga mahal.

Tapi benarkah demikian?

Inilah masalahnya. Saat ini kamera amatir dan kamera profesional sudah saling mendekati. Kamera amatir seperti SONY F828 yang secara penampilan sangat amatir misalnya, pada tangan orang yang mengerti bisa menghasilkan foto sekualitas profesional.

Seorang pengurus Organisasi Olimpiade sebuah negara Eropa, saat berbindang dengan KOMPAS memberikan sedikit bocoran. Menurutnya, di Olimpiade mendatang, entah mulai Beijing 2008 atau sesudahnya, ID untuk wartawan pun akan dijual.

Jadi, kuota seperti saat ini mungkin tidak berlaku lagi seperti Indonesia yang hanya dapat jatah 10 kartu ID. Jatah selama ini diberikan sejalan dengan kemungkinan mendali yang diraih negara yang bersangkutan.

Namun dunia yang makin komersial ini ahirnya memang harus menduitkan segala sesuatu. Olahraga yang juga semain bergelimang uang akhirnya akan membawa kenyataan bahwa segala hal harus dinilai dengan uang

ID membayar ? OK, tapi foto yang saya hasilkan juga akan saya jual�.
(Arbain Rambey, dari Athena)

Buku: Sekilas Foto Jurnalistik

Oleh: Sandhi Irawan

SEORANG kawan di Bandung sempat memperoleh momen yang cukup langka. Ia mengabadikan suatu peristiwa kebakaran di rumah dinas seorang pejabat terkenal di kota itu. Sampai datangnya mobil pemadam kebakaran kira-kira 10 menit kemudian, tidak terlihat olehnya kehadiran pewarta foto. Hanya ia satu-satunya pemotret yang ada di tempat kejadian.

�����������

Hari itu juga, setelah hasil jepretannya dilihat, ia menghubungi sebuah harian lokal untuk menawarkan foto-fotonya. Namun niat baiknya itu ditolak. Dikatakan bahwa mereka telah memiliki cukup dokumentasi foto. Esoknya, foto-foto yang muncul di koran itu ternyata hanya menggambarkan puing-puing sisa kebakaran saja.

�����������

Penolakan semacam itu tentu menimbulkan pertanyaan dan rasa heran. Apa kriteria foto-foto yang layak dimuat di media massa? Siapa yang bisa memberikan kontribusi? Bagaimana kualifikasi dan prosedurnya?

�����������

Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan seperti itu, tetapi, sayang, tidak tuntas. Pembahasaan yang tidak utuh dan lengkap malah menimbulkan pertanyaan baru. Terutama bagi kalangan awam yang ingin menekuni fotografi jurnalistik, seperti keinginan penulis buku ini.

***

�����������

Penjelasan foto jurnalistik di dua bab awal sebenarnya sudah memancing peminat fotografi untuk mengetahui definisinya, karakternya, jenis-jenis dan syaratnya. Termasuk bagaimana menjadi pewarta foto dan stringer (pewarta foto lepas).

�����������

Di LKBN Antara, tempat Audy berkarya, menerapkan aturan stringer harus berpendidikan minimal perguruan tinggi, mempunyai kemampuan dasar fotografi termasuk fotografi jurnalistik, dan berpengetahuan luas.

�����������

Namun semua penjelasannya seolah berhenti sampai di situ. Di bab-bab berikutnya, terutama Bab 3-7 (hal 18-80) dan sebagian Bab 9 (hal 95-101), pembahasannya tidak lagi terfokus pada fotografi jurnalistik. Melainkan sudah melebar kemana-mana. Dari sekadar (cuma) memasang film sampai tips membeli kamera dan lensa bekas(!). Padahal masih dibutuhkan penjelasan yang lebih komprehensif dan mendalam.

�����������

Ini patut disayangkan. Sebab pembahasan mengenai kamera dan lensa beserta aksesorisnya dan teknik kamar gelap tidak perlu ditulis panjang dalam bab tersendiri. Cukup dijelaskan secara singkat dalam beberapa paragraf. Atau dibuat 1 buku terpisah dengan penjelasan yang lebih detil.

�����������

Di samping itu, saat ini nyaris tak ada pewarta foto yang mau berkutat menghabiskan waktu di kamar gelap. Ada bagian lain yang mengurusinya. Tugas pewarta foto adalah memotret, memotret, dan... terus memotret.

�����������

Dalam kaitannya dengan fotografi jurnalisitik, kenapa tidak dibahas cara atau semacam pedoman untuk membuat foto jurnalistik yang baik? Janganlah sekadar memberikan saran �buatlah foto yang lain daripada orang lain�, karena ini tentu berkorelasi dengan kreativitas. Nah, bagaimana memunculkan kreativitas itu di lapangan?

�����������

Dengan begitu banyaknya pewarta foto dan stringer saat ini, bagaimana trik mendapatkan foto jurnalistik terbaik ketika meliput suatu peristiwa? Pengalaman Audy meliput berbagai peristiwa baik di dalam maupun di luar negeri tentu akan sangat bermanfaat.

�����������

Selain itu, bagaimana proses pembuatan foto esai? Ini juga perlu dibahas lebih lanjut. Pengalaman pria kelahiran Jakarta, 42 tahun lalu, ini membuat foto esai seperti �Perang Suku� di Wamena, Papua atau kehidupan satwa liar di Ujung Kulon, disertai contoh foto-fotonya akan lebih mudah dipahami. Paling tidak, bisa diuraikan dari perencanaan hingga proses pemilihan akhir foto beserta alur ceritanya.

***

�����������

Hal lain yang perlu dicermati adalah istilah yang dipakai untuk menyebut kepekaan film. Penyebutan ASA (American Standard Association, hal 27-28 dan 35-36) sebenarnya sudah diganti dengan ISO (International Standard Organization). Istilah ISO sendiri sudah dikenal dan dipakai sejak awal tahun 1980-an.

�����������

Istilah lain yang membuat dahi berkerut adalah �kelistrikan� lensa (hal 101). Apakah itu terjemahan bebas dari built-in CPU? Kenapa tidak menggunakan �kontak CPU� (CPU contacts) lensa seperti yang biasa tertulis di manual lensa?

�����������

Penggunaan atau pencantuman kata �Fotojurnalistik� di sampul depan sebaiknya juga dipertimbangkan. Karena dari seluruh materi yang ada di dalam buku ini, hanya sekitar 20 persen yang membahas masalah fotografi jurnalisitik.

�����������

Namun demikian, niat Audy Mirza Alwi mengajak pembaca yang mau atau sedang belajar fotografi, untuk masuk ke belantara fotografi jurnalistik, sesungguhnya patut dihargai. Meski harus diingat pula, jalan menuju ke arah pewarta foto (profesional) sungguh sangat panjang dan melelahkan. Itu pun kalau mampu dilalui.***

Karyanya Mengilhami Film "Emory Kristof, Pakar Fotografi Dasar Laut"

Oleh: Arbain Rambey

SELAMA ini fotografi selalu dipandang sebagai cabang seni. Namun, dalam dunia global seperti sekarang ini dimana sebuah keahlian bisa dipandang dari sisi mana pun, bisakah fotografi dipandang sebagai cabang teknologi?

Adalah Emory Kristof� (63 tahun), yang memberi� sebuah pernyataan unik saat berjumpa dengan sejumlah fotografer Jakarta Senin (24/1) lalu. "I am a photography engineer," katanya.

Ya, Kristof mengaku bahwa dirinya adalah seorang "insinyur" fotografi. Sebuah pernyataan yang bisa dipandang sebagai mengada-ada, namun bisa juga menjadi bahan pemikiran lebih jauh.

Kenyataan lapangan dari pengakuannya itu memang sangat menakjubkan. Apa yang dikerjakan Kristof selama ini memang sangat berbau teknologi.� Ia dikenal sebagai pelopor dan inovator di bidang fotografi bawah air dengan menggunakan robot kamera dan remotely operated vehicles (ROVs).


Kristoflah yang� menciptakan desain awal untuk sistem elektronik kamera yang dipasang di ROV bernama Argo, yang berhasil memotret bangkai Titanic untuk pertamakalinya pada tahun 1984.� Pemotretan Titanic yang lebih sempurna dilakukannya lagi pada tahun 1991 dengan wahana bernama MIR.

Dari hasil pemotretan-pemotretan Kristof pada kapal Titanic lah dunia lalu jadi tahu keadaan sebenarnya kapal legendaris itu setelah tenggelam hampir seratus tahun lalu. Dengan ide dari foto-foto Kristof jugalah yang akhirnya lahir film peraih beberapa Piala Oscar, Titanic,� dengan bintang Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet. Foto-foto nyata Titanic karya Kristof lebih memberikan gambaran jelas daripada foto dari sonar yang telah ada sebelumnya.

Tanggal 24 sampai tanggal 28 Januari 2005, Kristof yang fotografer majalah ilmiah petualangan National Geographic tahun 1964-1994 ini memamerkan karya fotografi bawah lautnya di Gedung Arsip Nasional, Jakarta. Dengan tajuk �Deep Sea�, pameran foto ini digelar dalam rangkaian peluncuran versi Bahasa Indonesia dari majalah National Geographic pada bulan Maret mendatang.


Dari pemotretan kapal Titanic saja, sebenarnya definisi fotografi "konvensional" sudah diobrak-abrik oleh Kristof. Ia tidak memotret dengan cara lazim, yaitu sang fotografer datang ke lokasi dengan kamera di dadanya, lalu jepret sana-jepret sini. Dengan kondisi kapal Titanic yang berada di dasar laut pada kedalaman 3810 meter, jelas sampai saat ini belum ada fotografer yang bisa memotretnya dengan cara biasa. Tekanan air di daerah kapal Titanic demikian besarnya sehingga sebuah mobil bisa terperas sampai sebesar sebuah sepeda motor saja.

Yang juga membuat cara Kristof lebih dekat ke teknologi daripada seni adalah pada realita tantangan pemotretan yang dilakukannya. Dengan mengkhususkan diri pada pemotretan bawah laut, jelas ia harus memahami mekanika dan elektronika lebih banyak daripada seni. Tidak semata kamera yang digunakan sangat khusus, namun juga harus ada wadah bagi kamera itu yang bisa melindunginya dari tekanan sangat tinggi.

Selain itu, dengan kedalaman hampir empat kilometer, jelas Kristof membutuhkan pengendali jarak jauh yang sangat handal. Pengendali ini juga dua arah, artinya selain ia bisa mengamati apa yang "dilihat" kameranya, Kristof juga bisa memberikan perintah real time pada peralatannya yang berada jauh di dasar sana.

Selain itu, orang yang gemar fotografi pasti tahu sulitnya memotret dengan cahaya buatan alias dengan lampu kilat. Di dasar laut yang luar biasa dalam, keadaan luar biasa gelap. Selain itu, di dasar laut nyaris tidak ada bidang yang bisa memantulkan cahaya. Dengan demikian, sebuah lampu kilat yang menyala di dasar laut hanya akan menghasilkan sinar untuk sang objek saja. Padahal, objeknya pun sangat tidai terduga karena tidak bisa disurvai terlebih dahulu.

Maka, pemotretan Kristof pun dari segi pengaturan pencahayaan buatan pun sangatlah rumit. Ia tidak bisa menggunakan flash meter atau spot meter untuk mengukur akurasi pencahayaan. Walau memakai cahaya buatan sepenuhnya, fotografi Kristof bukanlah fotografi studio dengan model yang bisa kita atur posenya.

Dan satu yang terpenting, pada tahun 1984 saat memotret Titanic itu, Kristof telah memakai teknologi pemotretan non-film, namun belum digital seperti yang kita kenal akhir-akhir ini. Ia mengatakan bahwa pemotretannya memakai sarana rekaman elektronik definisi tinggi.

Selain proyek pemotretan Titanic, Kristof juga� memimpin� sebuah survey fotografi bangkai� kapal perang Alabama milik tentara Konfederasi pada tahun 1992 di perairan Perancis. Pada tahun 1993 ia juga ikut ekspedisi bangkai kapal San Diego, kapal dagang asal� Spanyol dari abad ke-16, yang karam di perairan Filipina. Di tahun 1995 ia memimpin ekspedisi pengangkatan kapal Edmund Fitzgerald dari Amerika Serikat, dan menayangkan dalam sebuah cuplikan liputan televisi berkualitas tinggi mengenai kehidupan di laut dalam.

Karya fotografi Kristof secara umum� telah membuka dan menggali kehidupan di dunia laut dalam kepada dunia. Artikel Kristof dan Bill Cursinger berjudul "Mengetes Perairan Rongelap" telah dipublikasikan di majalah National Geographic edisi� April 1998.� Kisah itu mengungkapkan kehidupan bawah air di perairan Kepulauan Marshall yang telah terkontaminasi limbah nuklir.

Pada bulan Agustus 1991, foto-foto� Kristof� tentang Titanic muncul di majalah National Geographic dalam artikel berjudul "Tragedi Dalam Tiga Dimensi". Foto-toto dari liputan tahun 1991 tersebut menggunakan sistem pencahayaan densitas tinggi, yang menghasilkan� detil yang sangat luarbiasa melalui penyuntingan� komputer 3-Dimensi.

Sebenarnya, Kristof tidak pernah bermimpi akan menjadi fotografer dengan bidang liputan demikian khusus. Ia yang lahir pada� tahun 1942 ini masuk jurusan jurnalistik di Universitas Maryland di College Park dan meraih gelar sarjana tahun 1964. Setelah lulus, ia langsung� menjadi fotografer majalah National Geographic yang kemudian dijalaninya sampai selama 30 tahun. Dalam periode ini pula, ia sempat menulis sampai 39 artikel untuk mejalah itu.

Karya-karya Kristof telah memenangkan banyak penghargaan, baik dalam bidang tulisan maupun fofografi. Namun, penghargaan yang terpenting baeangkali hadiah J.Winton Lemen Fellowship Award tahun 1998 dari U.S. National Press Photographers Association. Ia dinobatkan sebagai, "salah seorang dalam profesi kita yang paling inovatif dan imajinatif, dengan minat yang sangat khusus dalam foto-foto dari kedalaman samudera, yang dipersembahkannya� kepada pembaca majalah National Geographic."� (Arbain Rambey)

Petunjuk Praktis Foto Panggung

Oleh: Arbain Rambey

Menyiasati Cahaya, Waktu dan Komposisi

MEMOTRET pertunjukan di panggung merupakan sebuah cabang fotografi yang unik. Pengetahuan fotografi saja tidak cukup untuk bekal melakukannya. Selain butuh pengalaman dari pemotretan-pemotretan sebelumnya, fotografi panggung juga butuh "pengalaman lokal".


Pengalaman lokal yang dimaksud adalah pemahaman pada adegan-adegan yang akan dipotret. Pada sebuah pertunjukan teater misalnya, seorang fotografer perlu mendapatkan "adegan kunci", yaitu sebuah foto yang bisa mewakili pertunjukan secara keseluruhan. Di sini, waktu atau timing saat kamera dijepretkan sangatlah menentukan. Dua adegan yang berselisih waktu detik pun bisa sangat berbeda penampilannya.

Survei pendahuluan sebelum memotret bisa dilakukan dengan mempelajari skenario atau bertanya ke beberapa pemainnya. Kalau ada gladi resik, survai bisa dilakukan (sambil memotret tentu saja) pada gladi resiknya. Kalau ada adegan yang terlepas dari pemotretan, bisa diulangi pada pertunjukan aslinya. Selain itu, mempelajari gladi resik membantu seorang fotografer untuk mendapatkan tempat berdiri terbaik dan juga� arah cahaya yang tepat .

Namun, banyak pertunjukan yang hanya boleh dipotret pada gladi resiknya saja. Untuk hal ini, survai yang harus dilakukan mau tidak mau adalah dengan mempelajari alur ceritera pertunjukan itu dan peralatan yang aada di gedungnya. Mempelajari adegan demi adegan juga sangat diperlukan untuk membantu membuat komposisi foto. Pada beberapa kesempatan, pemilihan komposisi foto benar-benar harus diputuskan dalam waktu singkat saat melihat adegan itu berlangsung. Sebagai contoh adalah foto berikut� yang memilih komposisi tidak simetris dengan memasukkan unsur asap sebagai eleman di bagian kanan. Keputusan memilih komposisi akan makin mudah dengan makin seringnya seorang fotografer memotret.

***

PADA pergelaran busana, pemotretan sebuah busana dilakukan saat busana itu menempel di tubuh peragawati. Peragawati bisa berjalan di catwalk yang ditonton rame-rame, atau bisa juga peragawatinya memang berpose khusus untuk para fotografer. Pada kondisi pertama, seorang fotografer harus menjepretkan kameranya saat sang peragawati berada pada kondisi menampilkan busana pada titik terbaik. Kondisi ini tercapai biasanya saat sang perawati memutar di ujung catwalk. Pada titik ini, lampu penerangan biasanya juga berada pada titik terbaik. Peragawati senior umumnya lebih mudah dipotret sebab mereka sudah sangat berpengalaman. Bebereapa peragawati pemula, menundukkan pandangannya saat memutar sehingga foto yang didapat kurang "menggigit".

Sedangkan pada peragaan busana yang tidak di catwalk, kesulitan utama berebut tempat dengan fotografer lain yang sering jumlahnya belasan. Di sebuah tempat yang terbatas, banyak orang berebut memotret ke suatu titik seperti foto di bawah ini.

Diperlukan kecepatan memfokus, mengkomposisi dan menentukan saat menjepretkan kamera. Selain itu, cahaya yang umumnya minim membutuhkan penguasaan pengukuran pencahayaan dan pemilihan White Balance yang cepat dan akurat. Pada beberapa pertunjukan busana yang besar, lampu yang dipakai umumnya bertipe daylight sehingga white balancenya sama dengan cahaya matahari. Pada pergelaran yang lebih kecil, lampu yang dipakai umumnya tungsten dengan berbagai tingkat kekuningan pada warna cahayanya. Pengolahan white balance sangat penting agar warna yang ada di foto wajar dan benar.

***

LAIN lagi pemotretan pertunjukan hiburan. Pertunjukan musik dari kelompok atau bintang� besar seperti Toto, Sting, Phil Collins, Mick Jagger atau juga Julio Iglesias hanya mengizinkan fotografer dari berbagai media cetak memotret satu atau dua lagu awal. Setelah itu, semua fotografer harus mengeluarkan kameranya keluar gedung. Mau nonoton terus silakan sesuai undangan, tapi dilarang memotret lagi.

Hal ini bisa dimengerti sebab foto sang bintang bernilai uang. Pemotret yang dizinkan memotret terus hanya fotografer resmi panitia. Fotografer media cetak hanya diizinkan memotret untuk konsumsi berita.

Bahkan, untuk pertunjukan Julio Iglesias, fotografer hanya boleh memotret dari sisi kiri Julio. Tidak pernah ada penjelasan mengapa Julio tak mau difoto dari sis kanan. Sebaiknya para fotografer menurut saja.

Sedangkan pada pertunjukan sulap David Copperfield,� hanya adegan David muncul ke panggung sambil bercanda-canda sedikit yang boleh dipotret. Konon, dengan lensa tela akan banyak terungkap trik-trik rahasia pesulap sohor ini.

Namun, pada pertunjukan musik, inti foto memang pada vokalis. Kalau ada satu dua pemusik ikut terekam, itu lebih baik. Pada pertunjukan grup Dewa pada foto di bawah ini, foto vokalis Once sendirian pada beberapa keadaan bisa dianggap sudah mewakili Dewa secara keseluruhan.

***

HAL terakhir dan terpenting yang harus dipikirkan pada pemotretan panggung adalah masalah pencahayaan. Dengan pelaksanaan pertunjukan yang umumnya malam, secara umum cahaya pada sebuah� pertunjukan adalah lampu sorot yang menyinari objek utama dengan latar belakang gelap total. Di sini, keluhan utama fotografer adalah minimnya cahaya. Tidak heran kalau pertunjukan panggung umumnya menuntut ISO tinggi, biasanya ISO 400 ke atas.

Perhatikan foto di bawah ini:

Pengukuran matrix membuat sebagian wajah dan dada sang penari kelebihan cahaya. Hal ini terjadi karena pengukuran matrix ikut mengukur bidang-bidang gelap di latar belakang. Untuk adegan seperti itu , pengukuran center weighted lebih tepat dipakai.

Sedangkan foto di bawah ini� tidak memungkinkan pengukuran spot maupun center weighted. Keadaan pada foto ini� hanya bisa dipotret dengan pengukuran matrix, plus sebuah catatan. Kompensasi pengukuran harus under satu sampai dua stop.

Dengan keadaan ini, pengukuran matrix "tertipu". Tepi tubuh yang tersinari itu tidak terukur sehingga akan menghasilkan bagian-bagian foto yang over exposure. Foto ini� mengambil kompensasi pencahayaan under 2 stop. Akibatnya, tepi tubuh yang tersinari jadi normal sementara bagian foto lain tampak gelap. Ini tidak masalah kamera kenyataannya pertunjukkan tari Tommi Kitti dari Finlandia� pada acara Art Summit 2004 ini memang memilih pencahayaan remang.

Sebagai catatan akhir, semua foto di tulisan ini dibuat dengan NIKON D100� dan lensa 70-210/2,8 VR oleh Arbain Rambey dan Lasti Kurnia. (Arbain Rambey)

Petak Sembilan Menjelang Imlek 2005

Oleh: Feri Latief

Petak Sembilan Menjelang Imlek 2005

Sebelum reformasi tahun 1998 warga keturunan Tionghoa di Indonesia sangat dibatasi kegiatan kebudayaannya oleh pemerintah orde baru. Banyak larangan diberlakukan agar mereka tidak mengadakan perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kebudayaan mereka secara terbuka. Seperti perayaan tahun baru Imlek misalnya. Tetapi syukurlah setelah era reformasi dan demokrasi berjalan tidak ada larangan lagi bagi warga keturunan Tionghoa untuk merayakan perayaan secara terbuka.

Foto-foto ini tentang aktivitas dan interaksi warga keturunan Tionghoa beberapa hari menjelang perayaan tahun baru Imlek 9 February 2005. Betapa mereka kini sangat antusias dan bebas menyongsong perayaan tahun baru itu. Dan bukan hanya mereka saja yang bergembira dengan keadaan ini tetapi juga warga negara bukan keturunan mendapat keuntungan dari menjual barang-barang untuk keperluan perayaan tahun baru itu. Para pengemis pun banyak berdatangan ke kuil Petak Sembilan tempat warga keturunan Tionghoa beribadah untuk mendapatkan uang dari para peziarah.

Bangsa ini masih harus terus belajar untuk terus hidup berdampingan dengan bangsa dan kepercayaan lain. Toleransi dan saling menghormati harus terus dikembangkan sehingga tidak ada lagi diskrimasi atau konflik bersifat SARA yang sering terjadi.

Lokasi pemotretan ini di kawasan pecinan Jakarta yang terkenal dengan nama Petak Sembilan. Kawasan pecinan ini sudah ada dari sejak jaman penjajahan Belanda abad 19. Pemerintah Belanda melokalisasi keberadaan kaum pendatang dari Tionghoa setelah pemberontakan warga keturunan Tionghoa kepada pemerintah Belanda. Pemberontakan itu dikenal sebagai Tragedi Pembantaian Angke. Lebih 10.000 warga Tionghoa dibantai pemerintah Belanda. Mulai dari pria, wanita, orang tua, dan anak-anak. Termasuk pasien rumah sakit dan wanita yang baru saja melahirkan.


Image001 - 23 January 2005, Dua minggu sebelum perayaan imlek jalan-jalan kawasan
Petak Sembilan mulai dipenuhi oleh pedagang yang menjual barang-barang untuk keper-
luan perayaan tahun baru Imlek



Image002 - 30 January 2005, Menyongsong Imlek seorang pemuda keturunan Tionghoa
sedang mencukur rambut di kios cukur kaki lima . Asimilasi dan akulturasi budaya te-
rus berlangsung di kawasan Petak Sembilan ini.




Image003- 23 January 2005, Barang-barang yang sebelum era reformasi langka sekarang
dengan mudah bisa dapati di toko-toko di kawasan pecinan Petak Sembilan. Bahkan
menurut pedagang bukan saja mudah didapati tetapi malah kebanjiran produk tersebut
hal ini menimbulkan persaingan ketat di antara para pedagang.




Image004- 16 January 2005, Bunga Persik adalah bunga khas untuk merayakan Tahun
Baru Imlek, kini tersedia dalam bentuk imitasi plastik. Kawasan peTionghoan itu beru-
bah menjadi sangat penuh warna menjelang Imlek seperti bukan berada di Indonesia




Image005- 23 January 2005, Setiap perayaan Imlek ada budaya pemberian hadiah-hadiah
kepada orang yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka.
Sebuah toko khusus menjual hadiah-hadiah untuk keperluan perayaan tersebut





Image006- 23 January 2005, Seorang pedagang yang kebetulan bukan warga keturunan
sedang menjual Angpao, amplop kecil berwarna merah yang akan diisi uang dan dibagi-
bagikan kepada saudara atau kerabat. Kegembiraan bukan hanya didapat oleh warga
keturunan Tionghoa saja tetapi juga keuntungan finansial dinikmati oleh warga bukan
keturunan



Image007- 30 January 2005, Dodol Cina adalah kue khas
yang selalu ada ketika perayaan Imlek. Setiap perayaan
Imlek kue dodol ini selalu hadir dan amat digemari. Apakah
keberadaan kue dodol ini budaya dari negara asalnya atau
kue yang menjadi simbol asimilasi dan akulturasi dengan
kebudayaan lokal?




Image008- 16 January 2005, Seorang nenek membawa
persembahan untuk ritual bersembahyang di kuil Jin De
Yuan Petak sembilan. Orang tua dalam budaya Tionghoa
mempunyai status social yang tinggi. Penghormatan kepa-
da leluhur atau orang yang lebih tua terus berlanjut sampai
saat ini.




Image009- 30 January 2005, Kuil Petak Sembilan berbenah diri sepekan menjelang
perayaan Imlek. Tukang cat ini adalah warga yang bukan keturunan Tionghoa tapi dia
bekerja di Kuil ini. Hubungan social seperti ini membantu pembauran antara warga
keturunan Tionghoa dan warga bukan keturunan




Image010- 30 January 2005, Para pengemis berbondong-bondong mulai memenuhi
halaman kuil Jin De Yuan Petak sembilan berharap mendapat sejumlah uang dari
para peziarah kuil




Image011- 16 January 2005, Semakin mendekati hari H perayaan kuil Petak Sembilan
semakin ramai dikunjungi orang untuk bersembahyang. Pada hari-H nya kuil ini akan
dipadati ribuan orang yang bersembahyang sehingga asap dari hio yang dibakar akan
sangat pekat memenuhi ruang kuil.




Image012- 16 January 2005, Kebebasan sekarang telah bisa dinikmati oleh generasi
baru warga keturunan Tionghoa untuk melakukan hal-hal yang berkaiatan dengan ke-
percayaan dan kebudayaan mereka. Hal yang tidak pernah dirasakan oleh orang-orang
tua mereka dulu.

S E L E S A I

Rumusan dasar penetapan harga foto

Oleh: Uskar Satrya Erwinsyah

Berdasarkan� pengalaman saya selama ini dan masukan-masukan dari teman-teman yang berwirausaha sejenis ( fotografi dan videografi ) maka saya coba untuk menjabarkan prinsip dasar dari penetapan harga dasar� jual foto baik dokumentasi ataupun non dokumentasi ( seperti untuk iklan, brosur atau company profile ).

Adapun dasar-dasar biaya untuk penetapan harga yaitu :

  1. Biaya produksi langsung, misalnya film, proses, cetak, frame slide, fee asisten, fee fotografer, transport, makan siang, pokok semua biaya yang terjadi pada saat pemotretan.
  2. Biaya tidak langsung / Overhead, adalah biaya-biaya yang keluar per bulan yang terjadi pada tempat yang kita jadikan kantor, seperti rekening telpon, rekening listrik dan tagihan handphone, biaya sewa tempat dan lainnya. Semua biaya ini kita hitung dalam waktu satu bulan dan dibagi omset kita selama satu bulan hasinya adalah persentase. Contoh : sewa tempat 1 bulan Rp. 1 juta, rekening telpon 1 bulan Rp. 500 ribu, rekening air & listrik Rp. 500 ribu, gaji office boy 1 bulan Rp. 300 ribu� dan Omset pendapatan 1 bulan Rp. 10 juta, maka rumusnya :�������
    Pengeluaran bulanan dibagi omset pendapatan per bulan =�Overhead��
    Jadi� : Rp. 2.300.000 : 10.000.000 x 100% = 23%
  3. Profit, atau keuntungan, bisa kita tetapkan terserah kita untuk menetapkan berapa prosen, biasanya antara 40% � 100%
  4. Terakhir adalah fee Marketing, walaupun kita tidak mempunyai marketing tapi kita wajib untuk menetapkan post ini, untuk memberikan fee orang dalam misalnya, atau untuk teman kita yang telah menawarkan foto kita ke keluarganya. Biasanya antara 10% - 20%.

Demikianlah prinsip dasar penetapan harga dasar ini, tapi kita pun harus rajin mengadakan survey harga pasar, dari yang tertinggi hingga yang terendah dan harga kita harus disesuaikan dalam range harga pasaran tersebut.

Saya coba ilustrasikan penetapan biaya wedding, yaitu :

Harga foto untuk akad nikah acara jam 08.00 � 11.00, satu album cetakan 4R, 5R dan 10 R dihias :

a.
Film������������������������������� 5 Roll x Rp. 15.000
Rp 75.000,-
b.
Proses��������������������������� 5 roll x Rp. 10.000�
Rp 50.000,-
c.
Cetak 4R 90 pcs x Rp. 1.300
Rp 117.000,-
d.
Cetak 5R 5 pcs x Rp. 2.000
Rp 10.000,-
e.
Cetak 10 R 10 pcs x Rp. 8.000
Rp 80.000,-
f.
Album 20 sheet 1 pc x Rp.80.000
Rp 80.000,-
g.
Hias album 20 sheets x Rp.3.000
Rp 60.000,-
h.
Fee assistan 1 hari x Rp. 75.000
Rp 75.000,-
i.
Fee photographer 1 hari x Rp. 150.000
Rp 150.000,-
j.
Transport�� 1 x Rp. 75.000
Rp 75.000,-
k.
Batere� 8 pasang x Rp. 6.000
Rp 48.000,-

Total Biaya Langsung Rp 820.000,-
Overhead 20% Rp 164.000,-
Profit 40% Rp 328.000,-
Total Rp 1.312.000
Fee Marketing 10% Rp 131.200,-
Total Harga Jual (dibulatkan) Rp 1.500.000,-