Senin, 07 Juli 2008

Buku: Sekilas Foto Jurnalistik

Oleh: Sandhi Irawan

SEORANG kawan di Bandung sempat memperoleh momen yang cukup langka. Ia mengabadikan suatu peristiwa kebakaran di rumah dinas seorang pejabat terkenal di kota itu. Sampai datangnya mobil pemadam kebakaran kira-kira 10 menit kemudian, tidak terlihat olehnya kehadiran pewarta foto. Hanya ia satu-satunya pemotret yang ada di tempat kejadian.

�����������

Hari itu juga, setelah hasil jepretannya dilihat, ia menghubungi sebuah harian lokal untuk menawarkan foto-fotonya. Namun niat baiknya itu ditolak. Dikatakan bahwa mereka telah memiliki cukup dokumentasi foto. Esoknya, foto-foto yang muncul di koran itu ternyata hanya menggambarkan puing-puing sisa kebakaran saja.

�����������

Penolakan semacam itu tentu menimbulkan pertanyaan dan rasa heran. Apa kriteria foto-foto yang layak dimuat di media massa? Siapa yang bisa memberikan kontribusi? Bagaimana kualifikasi dan prosedurnya?

�����������

Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan seperti itu, tetapi, sayang, tidak tuntas. Pembahasaan yang tidak utuh dan lengkap malah menimbulkan pertanyaan baru. Terutama bagi kalangan awam yang ingin menekuni fotografi jurnalistik, seperti keinginan penulis buku ini.

***

�����������

Penjelasan foto jurnalistik di dua bab awal sebenarnya sudah memancing peminat fotografi untuk mengetahui definisinya, karakternya, jenis-jenis dan syaratnya. Termasuk bagaimana menjadi pewarta foto dan stringer (pewarta foto lepas).

�����������

Di LKBN Antara, tempat Audy berkarya, menerapkan aturan stringer harus berpendidikan minimal perguruan tinggi, mempunyai kemampuan dasar fotografi termasuk fotografi jurnalistik, dan berpengetahuan luas.

�����������

Namun semua penjelasannya seolah berhenti sampai di situ. Di bab-bab berikutnya, terutama Bab 3-7 (hal 18-80) dan sebagian Bab 9 (hal 95-101), pembahasannya tidak lagi terfokus pada fotografi jurnalistik. Melainkan sudah melebar kemana-mana. Dari sekadar (cuma) memasang film sampai tips membeli kamera dan lensa bekas(!). Padahal masih dibutuhkan penjelasan yang lebih komprehensif dan mendalam.

�����������

Ini patut disayangkan. Sebab pembahasan mengenai kamera dan lensa beserta aksesorisnya dan teknik kamar gelap tidak perlu ditulis panjang dalam bab tersendiri. Cukup dijelaskan secara singkat dalam beberapa paragraf. Atau dibuat 1 buku terpisah dengan penjelasan yang lebih detil.

�����������

Di samping itu, saat ini nyaris tak ada pewarta foto yang mau berkutat menghabiskan waktu di kamar gelap. Ada bagian lain yang mengurusinya. Tugas pewarta foto adalah memotret, memotret, dan... terus memotret.

�����������

Dalam kaitannya dengan fotografi jurnalisitik, kenapa tidak dibahas cara atau semacam pedoman untuk membuat foto jurnalistik yang baik? Janganlah sekadar memberikan saran �buatlah foto yang lain daripada orang lain�, karena ini tentu berkorelasi dengan kreativitas. Nah, bagaimana memunculkan kreativitas itu di lapangan?

�����������

Dengan begitu banyaknya pewarta foto dan stringer saat ini, bagaimana trik mendapatkan foto jurnalistik terbaik ketika meliput suatu peristiwa? Pengalaman Audy meliput berbagai peristiwa baik di dalam maupun di luar negeri tentu akan sangat bermanfaat.

�����������

Selain itu, bagaimana proses pembuatan foto esai? Ini juga perlu dibahas lebih lanjut. Pengalaman pria kelahiran Jakarta, 42 tahun lalu, ini membuat foto esai seperti �Perang Suku� di Wamena, Papua atau kehidupan satwa liar di Ujung Kulon, disertai contoh foto-fotonya akan lebih mudah dipahami. Paling tidak, bisa diuraikan dari perencanaan hingga proses pemilihan akhir foto beserta alur ceritanya.

***

�����������

Hal lain yang perlu dicermati adalah istilah yang dipakai untuk menyebut kepekaan film. Penyebutan ASA (American Standard Association, hal 27-28 dan 35-36) sebenarnya sudah diganti dengan ISO (International Standard Organization). Istilah ISO sendiri sudah dikenal dan dipakai sejak awal tahun 1980-an.

�����������

Istilah lain yang membuat dahi berkerut adalah �kelistrikan� lensa (hal 101). Apakah itu terjemahan bebas dari built-in CPU? Kenapa tidak menggunakan �kontak CPU� (CPU contacts) lensa seperti yang biasa tertulis di manual lensa?

�����������

Penggunaan atau pencantuman kata �Fotojurnalistik� di sampul depan sebaiknya juga dipertimbangkan. Karena dari seluruh materi yang ada di dalam buku ini, hanya sekitar 20 persen yang membahas masalah fotografi jurnalisitik.

�����������

Namun demikian, niat Audy Mirza Alwi mengajak pembaca yang mau atau sedang belajar fotografi, untuk masuk ke belantara fotografi jurnalistik, sesungguhnya patut dihargai. Meski harus diingat pula, jalan menuju ke arah pewarta foto (profesional) sungguh sangat panjang dan melelahkan. Itu pun kalau mampu dilalui.***

Tidak ada komentar: